Rabu, 12 Desember 2018

KONVERGENSI MEDIA; Perbauran Ideologi, Politik, dan Etika Jurnalisme

Judul      : KONVERGENSI MEDIA; Perbauran Ideologi, Politik, dan Etika Jurnalisme
Penulis   : Dudi Iskandar
Penerbit : Penerbit ANDI
Tahun     : 2018
Tebal      : 333 halaman


BAB I KONVERGENSI MEDIA
     Media massa mengalami beberapa tahap perubahan, transformasi, dan bahkan bermetamofosis. Roger Fidler menyebut fase berbagai perkembangan media dengan nama mediamorfosis. Dalam pandangan Fidler, mediamorfosis memiliki tiga konsep, yaitu:
  • Koevolusi
  • Konvergensi
  • Kompleksitas
Ia mendefinisikan mediamorfosis sebagai transformasi media komuikasi yang biasanya ditimbulkan akibat hubungan timbal balik yang rumit antara berbagai kebutuhan yang dirasakan, tekanan persaingan politik, serta berbagai inovasi sosial dan teknologi.[hal.1]

     World Association of Newspaper (WAN) menemukan enam tren efek internet terhadap jurnalisme.
 1) Peningkatan jurnalisme partisipatif atau komunitas penghasil isi berita, 2) Munculnya riset audiensi tentang pola penggunaan media, 3) Penyebaran informasi (beria) yang dibuat sendiri secara online dan perangkat telepon seluler,  4) Penataan kembali newsroom yang lebih fokus kepada audiensi, 5) Pengembangan bentuk baru tentang narasi/ storytelling yang disesuaikan dengan audiensi dan saluran yang baru, 6) Pertembungan audiensi yang fokus pada penyesuaian berita dan juga penyesuaian berita pada multimedia.
     Sementara itu, menurut John V. Pavlik dalam dunia digital, jurnalisme modern mengalami lima area perubahan, antara lain :1) Pengumpulan dan pelaporan berita, 2) Pengumpulan informasi, pengindeksan, dan pengembangannya, khususnya konten untuk multimedia, 3) Proses, produksi, dan editorial, 4) Distribusi dan penerbitan, 5) Penampilan, tata letak, dan akses.
      Gitlin menunjukkan kondisi krisis jurnalisme ini dengan mengidentifikasi lima indikator, yaitu:
 1) Jatuhnya sirkulasi
 2) Jatuhnya pendapatan advertising
 3) Difusi perhatian
 4) Krisi yang berwenang
 5) Ketidakmampuan atau keengganan jurnalisme mempertanyakan struktur kekuasaan semua berkontribusi untuk membawa krisis yang mendalam jurnalisme.
     Krisis jurnalisme didiagnosis meliputi serangkaian masalah, yaitu yang berkaitan dengan waktu, uang, otonomi, dan perubahan budaya. Sementara itu, perubahan pada bentuk dalam organisasi media menghadirkan konvergensi media. [hal.2]

     Teoritikus konvergensi media Henry Jenkins mendefinisikan konvergensi sebagai proses penyatuan yang terus-menerus terjadi di antara berbagai bagian media seperti teknologi, industri, konten, dan khalayak.
     Burnett and Marshall mendefinisikankonvergensi sebagai penggabungan industri media, telekomunikasi, dan komputer mwnjadi sebuah bentuk yang bersatu dan berfungsi sebagai media komunikasi dalam bentuk digital.
      Key Concept in Journalism Studies menegaskan konvergensi media adalah pertukaran media di antara semua media yang berbeda karakteristik dan platform-nya. [hal.3]

     Konvergensi media bisa dipahami sebagai sebuah integrasi atau penyatuan beberapa media konvensional dengan kemajuan teknologi informasi menjadi satu atap atau perusahaan. Konvergensi bukan hanya penyatuan konten -sebuah berita bisa muncul di berbagai media yang berada dalam satu perusahaan-tetapi juga penyatuan dalam satu induk perusahaan media. MNC Grup, contohnya, menaungi, MNCTV, Koran Sindo, sindonews.com. Di Indonesia, selain MNC Grup yang sudah melakukan konvergensi secara lengkap (cetak, elektronik, dan situs), adalah Kompas Grup dan Media Grup. Kompas Grup membawahi koran Kompas, Kompas.com, dan Kompas TV. Sementara itu, Media Grup membawahi surat kabar Media Indonesia, Metro TV, dan MetroTVnews.com. [hal.3]

     Konvergensi juga merupakan aplikasi dari teknologi digital, yaitu integrasi teks, suara, angka, dan gambar;bagaimana berita diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi. Dailey, Demo, dan Spillman menjelaskan aktivitas konvergensi meliputi antara lain cross-promotion (lintas promosi), cloning (penggandaan), coopetition (kolaborasi), content sharing ( berbagi isi), dan full convergence (penyatuan). [hal.4]

     Kata Marx Schulman, bagi seorang wartawan dengan orang lain di dalam medianya, bertujuan menyingkap kebenaran. Hal ini disebabkan siaran, tayangan, dan atau tulisan untuk khalayak, baik yang dijual ataupun digratiskan akan membentuk makna tertentu. [hal.5]
     Tayangan, tulisan, dan siaran yang dilontarkan dan menjadi perbincangan khayalayak disebut wacana (discourse). Banyak cara yang dilakukan media dalam memproduksi wacana, antara lain, strategi signing, framing, dan priming. [hal.6]
     Konglomerasi media kian hegemonik dan menemukan momentumnya seiring dengan ideologi kapitalisme masuk ke dunia jurnalisme. Menurut Yasraf Amir Piliang, ada empat unsur utama kapitalisme global, yakni waktu, ruang, uang, dan kecepatan.[hal.8]
Salah satu akibat konglomerasi adalah keseragaman siaran, tayangan, dan tulisan di tiga perusahaan media yang sedang diteliti. [hal.9]

1.1 Metode Penelitian
     Penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis Norman Fairclough. Metode ini membongkar teks, tayangan, dan siaran dari objek penelitian, yakni berita tayangan, dan siaran di Kompas Grup, Media Grup, dan MNC Grup selama kampanye Pilpres 2014.
     Analisis wacana kritis model Norman Fairclough berangkat dari satu pernyataan bagaimana menghubungkan antara teks yang mikro dan satu permyataan bagaimana menghubungkan antara teks yang mikro dan lingkungan sosiokultur yang makro.
      Menurut Jorgensen dan Phillips (2007:119), Fairclough menyatukan tiga tradisi. Pertama, analisis tekstual yang terpinci di bidang linguistik. Kedua, analisis makro-sosiologi praktis sosial. Ketiga, tradisi interpretatif dan mikro-sosiologis dalam sosiologi tempat kehidupan diperlakukan sebagai produk tindakan seseorang.
     Inti dari analisis wacana kritis Norman Fairclough (1995: 131-132) adalah ingin melihat bangsa sebagai praktik kekuasaan. [hal.12-13]

1.2 Konvergensi Media di Indonesia 
     Cikal bakal Kompas Grup adalah Harian Kompas yang pertama kali terbit 28 Juni 1965. Surat kabar ini didirikan almarhum Petrus Kanisius (PK) Ojong dan JakobOetama. Nama Kompas sendiri merupakan nama pemberian Presidan pertama Republik Indonesia, Soekarno. Sebab awalnya koran ini akan bernama Bentara Rakyat. [hal.16-17]
     Seiring dengan perkembangan zaman dan melihat ceruk pasar yang sangat besar untuk dunia situs berita, Kompas Online kemudian dikembangkan menjadi unit bisnis mandiri di bawah bendera PT Kompas Cyber Media  (KCM), 6 Agustus 1998. [hal19]

1.3 Konvergensi Media di Belahan Dunia 
     Penelitian tentang konvergensi media dengan berbagai aspeknya untuk level doktoral atau disertasi sudah banyak dilakukan, terutama di luar negeri. [hal. 31-32]
    Hasil penelitian Ivar John Erdal memandang dalam era konvergensi media harus ada perubahan dalam pola jurnalisme dan organisasi media.
    Yuyan Ernest Zhang menyatakan bahwa konergensi sebagai sesuatu yang tidak terrelakan di era digital. Ada tiga faktor yang menyebabkan konvergensi tidak bisa dihindari, yakni, proses organisasi dari atas ke bawah (top-down process), proses tekanan dari konsumen, dan pengendalian melalui teknologi digital.
     Christy Dena menemukan proyek transmdia kini sedang berada di puncak popularitasnya baik sebagai industri maupun bidang kajian akademis.
     David Otieno Aduda memaparkan digital media memaksa media tradisional mengubah isi, paket, dantampilan.
     Mangesh Manohan Karandikar menemukan di India suara masyarakat hanya dibutuhkan ketika pemilihan umum.
     Konvergensi media dalam penelitian ini fokus pada representasi ideologi kekuasaan yang tercemin dalam teks berita kampanye pemilihan presiden 2014. [hal.32-34]
      
   

BAB II MEDIA SEBAGAI IDEOLOGI DAN AKTOR POLITIK
     Dalam teori wacana Michel Foucault, ada beberapa istilah kunci. Selain wacana, ada juga istilah episteme, kuasa, pengetahuan, arekologi, dan genealogi.[hal.217]
     Kekuasaan versi Foucault yang menyebar melalui bahasa dari berbagai sektor membentuk wacana yang dibuat oleh beragam media. Bahwa ideologi ada dan dipergunakan untuk membangun dan mempertahankan relasi kekuasaan secara sistematis bersifat asimetris. Model umum yang dilakukan sebagai ideologi adalah legitimasi, penipuan, dan fragmentasi.[hal 218]
     Seperti kata Foucault wacana bersifat ideologis karena menyimpan sesuatu yang tersembunyi. Artinya, selain mengonstruksi wacana, melalui berita juga menyimpan agenda ideologi media seperti yang disebutkan juga oleh John B. Thomson, bahwa ideologi memiliki tiga perangkat, yakni sistem keyakinan yang menandai kelas tertentu, suatu sistem kenyakinan ilusioner, dan proses umum produksi makna dan gagasan. Ideologi memiliki tiga tempat bersemayam, yakni di dalam bahasa, teks, dan representasi; kelembagaan material dan seluruh praktiknya; serta di setiap afeksi dan kognisi seseorang. [hal.218]

2.1 Kontensasi Media 
     Pada kampanye Pilpres 2014 sangat terasa pilihan-pilihan politik media terhadap pasangan tertentu. Pilihan politik itu harus hati-hati diambil media karena akan berbenturan dengan sikap independensi media.
     Sebenernya keberpihakan media terhadap partai politik atau kandidat tertentu tidak hanya terjadi di Indonesia. Banyak media yang memilih dan berafiliasi dengan partai politik atau simpatisan kandidat tertentu. Hal yang harus dicermati adalah pergeseran penerapan kode etik juralistik pada anggota grup-grup media tersebut. Pergeseran ini terjadi akibat kian besarnya perusahaan media tersebut. Nuansa politik dan kepentingannya sangat kental terasa. [hal. 218-219]

2.2 Etika Jurnalistik
     Sepanjang perjalanan perubahan jurnalisme dari cetak, televisi, radio, dan kini situs berita (media online) selalu menghadirkan persoalan. Salah satu persoalan mendasar adalah dilema etika jurnalisme dan keguncangan etika yang paling dahsyat dari kehadiran situs berita yang bersifat online.
     Persoalan lain adalah hilangnya dikotomi jurnalisme lokal, nasional, dan global. Internet mengubah jurnalisme menjadi semua global. Namun, pola ini terbentur pada penerapan etika jurnalistik yang menyesuaikan dngan budaya lokal. Oleh sebab itu, publikasi media online yang berskala global tidak bisa disesuaikan dengan perangkat etika jurnalisme lama.
     Secara filosofis, jurnalisme harus tetap berpijak pada prinsip kebenaran, independensi, check and balance, cover all ( multi) sides, verifikasi fakta, dan keberpihakan pada yang lemah. Etika jurnalisme berfungsi untuk menjamin media memproduksi jurnalisme yang berkualitas dan publik pun mendapat informasi yang sehat dan mencerahkan.
    Cara yang paling penting dalam memihak kebenaran adalah loyalitas kepada masyarakat (warga negara) (Journalism's first loyalty is to citizens) dan dengan elemen ketiga, yaitu disiplin dalam memverifikasi fakta (the essence of journalist is a discipline of verification). [hal. 228-229]
     Dari sudut produksi, media bukanlah satu-satunya penyedia informasi. Masalah lain adalah persoalan etika pada format jurnalisme. Etika yang media cetak minded harus segera ditinggalkan. Kesadaran akan digital harus menghadirkan etika yang berbeda, yakni etika digital minded. Kegagalan mengubah dan memahami etika digital minded ini akan menyebabkan kegalauan epistemologi. [ hal. 248-249]


BAB III POST-JOURNALISM
     Model keberagaman dalam kerja jurnalistik inilah bisa dipotret sebagai cikal bakal fenomena post-journalism. Istilah ini berangkat dan berakar dari post-truth. Kamus Oxford mendefinisikan post-truth sebagai kondisi ketika fakta -dalam jurnalistik- tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Artinya, fakta atau peristiwa dalam sebuah berita hanya sebagai cikal bakal semata, tetapi yang membentuk perspesi dan pengaruh ke arah publik adalah adukan emosi, rasa sentimen, dan kenyakinan pribadi. [hal.249]
     Fenomena post-truth sangat menggila di media sosial. Twitter misalnya, adalah media sosial paling mudah menyampaikan keriuhan yang menjadi post-truth ini. Di dunia jurnalisme berita hoax adalah salah satu indikasi post-truth. Hal ini menunjukkan kegamangan jurnalisme dalam mengahadapi realitas politik yang penuh dengan kebohongan dan tipu daya. Dengan demikian, post-truth dan post-journalism adalah satu jalur berbeda nama. Dalam post-journalism tidak ada standar etika dan moralitas yang bisa dipegang. Realitas jurnalisme ini disebut Agus Sudiboyo dengan Nihilisme Moralitas Bermedia. [hal.250]
     Dalam post-journalism, jurnalisme terjebak dalam kontenasasi dengan media sosial, khususnya dalam proses penyebaran informasi. Akibat kontensasi yang tidak seimbang plus beragam faktor di luar jurnalisme, kualitas dan dunia jurnalisme bergeser serta terjadi penurunan martabatnya. [hal.251]